MEREKA SUDAH LAYAK DITAHBISKAN SEBAGAI BAND TERBAIK DI TANAH
AIR. DAN KEMARIN MEREKA BARU SAJA MELUNASI SEBUAH KEWAJIBAN PENTING.
GOD DAMN… konser itu tidak meleset satu derajat pun
dari ekspektasi. Konsep yang digodok dengan sangat anjrittt menghasilkan
suguhkan yang anjrittt pula. Histeria massal terus menggelora dari lagu
ke lagu. Kaki para begundal pun seperti dipaku di atas rumput Stadion
Siliwangi ketika Vicky, Eben, Agung, Ramdhan, dan Andris, menyudahi
Venomous Alive tepat ketika jarum jam menjejak di titik 17.30 WIB, Sabtu
(24/9) itu. Sebagian dari mereka masih bertahan sampai hari habis
ditelan malam, padahal seluruh personel Burgerkill sudah lama menghilang
dari atas panggung.
Apa mau dikata, Burgerkill memang sudah lama dikenal sebagai biang
kesempurnaan. Mereka seolah-olah tidak pernah membikin sesuatu yang
tidak bagus. Album Venomous adalah sebuah katarsis yang sangat elegan
untuk menanggalkan identitas lama Burgerkill yang amat lekat dengan
sosok Ivan Scumbag, dan bersulih jadi Burgerkill baru yang tidak kalah
keren. Dan, suguhan mereka dalam balutan Venomous Alive di Stadion
Siliwangi itu boleh diibaratkan sebuah ejakulasi maksimal dalam
rangkaian morse seksualitas sejak album pertama itu baru serupa rumor
sampai mengejawantah jadi bentuk kepingan CD.
Tentu saja Burgerkill teramat layak merasa puas dengan ejakulasi yang
mereka alami di atas rumput Stadion Siliwangi petang itu. Dan pula
semua yang hadir, termasuk orang tua dan keluarga besar masing-masing
personel. Sebab, dengan Venomous Alive, Burgerkill telah menunaikan satu
kewajiban penting sebagai sebuah band besar, yakni menggelar konser
tunggal.
Tidak ada sedikit pun spasi yang membuat Venomous Alive harus
mendapat kredit negatif. Sebab, kalaupun ada, itu pasti bakal tertutupi
oleh aksi tuntas Burgerkill selama dua jam lebih. Penonton seperti
merasa masih lapar ketika Burgerkill menyuguhkan santapan terakhir
berupa kolaborasi anjisss dengan Arian 13 saat membawakan lagu Atur Aku.
Dan itulah tanda-tanda bahwa apa yang mereka sajikan — jika diibaratkan
sebuah pesta jamuan makan —- semuanya serba lezat.
Dengan Venomous Alive barangkali Burgerkill tak perlu lagi melakukan
apa pun untuk tetap mempertahankan imej mereka sebagai band metal
terbaik sepanjang masa di negeri ini. Namun, bukan Burgerkill jika
merasa puas dengan apa yang mereka genggang hari ini. “Tentu saja kami
sangat sangat sangat puas dengan pencapaian ini. Tapi, kami tidak akan
berpuas diri,” ucap Eben usai konser.
Eben kemudian menuturkan sejumlah mimpi yang bakal mereka rajut
setelah merilis Venomous dan menggelar ritual istimewa dalam rangka
peluncuran album tersebut. Salah satunya ingin mengembangkan sayap
Burgerkill jadi band internasional. “Mungkin sudah waktunya kita
memikirkan sesuatu yang lebih besar lagi. Kami ingin juga diakui di
dunia yang lebih luas,” imbuh Eben.
Lho bukankah selama ini mereka sudah pernah menggelar tur Asia
Tenggara dan mengecap panggung internasional seperti Soundwave Festival
2009 serta Big Day Out 2010 di Australia? “Belum! Kami belum puas dengan
itu. Kami ingin juga merambah Eropa dan Amerika. Dan kami merasa mampu
untuk melakukannya. Hidup itu harus rock n roll, brader. Jika kita tidak
merasa yakin dengan kemampuan kita, maka kita tidak akan bisa meraih
apa yang kita impikan,” sembur Eben lagi.
SEBUAH PENTAHBISAN
Lalu apa makna paling penting Venomous Alive buat Burgekill? Yeahhh…
sosok ini adalah orang paling tepat untuk dijadikan tempat bertanya:
Arian 13. Mantan vokalis Puppen yang sekarang mengibarkan penjor
Seringai ini termasuk salah satu orang yang ada di samping Burgerkill
sejak band ini meniti karir. Tapi, Arian tetaplah ‘orang luar’ yang bisa
menyodorkan perspektif lebih obyektif mengenai Burgerkill hari ini,
khususnya untuk album Venomous dan Venomous Alive.
“Di mata saya Burgerkill adalah band goreng patut! Sudah itu saja!” ungkap Arian. “Hahahaha… heureuy bray!” tambah Arian sambil tergelak.
Di mata Arian, Burgerkill sudah memenuhi seluruh aspek untuk ditahbiskan sebagai salah satu band metal terbaik di tanah air. “Apa mau dikata, mereka sudah memiliki dan melakukan semuanya sebagai sebuah band,” cetus Arian.
Kalaupun ada yang harus dikritik, menurut Arian, adalah soal waktu pencapaian tersebut. “Dari dulu saya sudah yakin Burgerkill akan jadi band besar. Tapi seharusnya mereka sudah mencapai apa yang mereka gapai hari ini ketika umur Burgerkill menginjak bilangan ketujuh. Bukan 16 tahun seperti sekarang,” papar Arian.
Namun, Arian bisa mentolerir urusan waktu tersebut. Sebab, lanjut Arian, ada sejumlah variabel yang membuat Burgerkill baru bisa mencapai level kesuksesan ketika menginjak usia 16 tahun. “Kita tahu sendiri bagaimana sikap lingkungan kita terhadap band-band seperti Burgerkill. Andai saja Burgerkill tumbuh di habitat yang mampu memberikan dukungan lebih baik, mereka sudah mencapai level kesuksesan seperti ini sepuluh tahun lalu. Masih untung juga Burgerkill punya kekuatan luar biasa untuk menyiasati seluruh persoalan tersebut dan hari ini mereka mencapai titik seperti ini,” terang Arian.
Jika Burgerkill sudah memiliki dan melakukan semuanya, lalu apa lagi yang harus mereka perbuat di hari esok? “Secara musik mereka tetap harus melakukan perubahan. Tentu saja bukan dalam rangka kompromi, melainkan untuk sebuah tuntutan progres. Sebab bagaimanapun perubahan adalah progres,” tandas Arian.
No comments:
Post a Comment