DISTORSI. HANYA ITU YANG MEREKA YAKINI. DAN MALAM ITU,
GODLESS SYMPTOMS MENGUCAP IKRAR TAK AKAN PERNAH BERHENTI MENEBAR SUKA
CITA LEWAT DISTORSI YANG MEREKA YAKINI.
SEKALI lagi, kata anjing bertebaran sekerap hilir
mudiknya oksigen ke lubang tenggorokan dan paru-paru dari mulut seorang
MC bernama Reggi Kayong. Dan mudah diterka, itu adalah tengara bahwa
sebuah pesta tengah digelar. Bukan sekadar pesta hura-hura tanpa makna,
melainkan pesta penanda delapan tahun eksistensi sebuah band bernama
Godless Symptoms.
Delapan! Hitungan ini jelas tidak seberapa jika dibandingkan bilangan
umur dunia ini. Tapi, bagi sebuah keluarga bernama Godless Symptoms,
bilangan delapan memiliki sejuta makna. Sebab, delapan bundel kalender
buat mereka adalah tetesan keringat dan perjuangan. Karena itulah,
mereka merasa harus menandai milad kedelapan dengan sebuah perayaan
sederhana namun bermakna.
Malam itu, di sebuah tempat kecil bernama Rogers Café, Godless
Symptoms tidak hanya menjadi tuan rumah yang baik bagi kerabat yang
datang untuk sekadar mengucap selamat. Godless Symptoms juga telah
menebar spirit bagi siapa pun yang sampai detik ini menjejakkan kaki di
atas tanah bernama scene Bandung Underground. “Dan kita tidak akan
pernah berhenti di sini,” teriak Barus dari balik corong mikropon.
Ahhh… melihat apa yang berlangsung di ruang redup Rogers Café malam
itu rasanya kita tidak lagi memerlukan tempat seperti Yon Armed atau
venue lain yang untuk menebusnya kita harus melakukan banyak hal, mulai
dari ritual makan kembang sampai menyayat urat nadi sendiri tanda kita
siap mengabdikan nyawa untuk sebuah frasa bernama ketertiban umum.
Seperti mafhum apa yang harus dilakukan, Godless Symptoms rupanya
telah menyiapkan tidak kurang dari selusin resital untuk menjamu saudara
yang datang ke perayaan delapan tahun eksistensi mereka di musik bawah
tanah kota ini. Begitu corong mikropon tuntas dimaki-maki gerombolan
Eyefeelsix — lalu kemudian sebentar berada di tangan Butche Mario dan
Gebeg yang melakukan battle sarkasme nan memikat, Godless Symptoms
langsung menggebrak dengan nomor Tak Ada Bendera Putih.
Jangan pernah membayangkan kegilaan apa yang berlangsung di atas
lantai Rogers Café begitu lagu Tak Ada Bendera Putih . Sebab, kapasitas
imajinasi kita mungkin tidak akan sampai untuk bisa menggambarkan
kegilaan tersebut. Kegilaan itu hanya bisa dirasakan.
Seluruh pengunjung yang hadir malam itu mungkin tak akan pernah
menggubris lagu apa yang dibesut Godless Symptoms. Toh, mereka hadir ke
Rogers Café malam itu bukan semata-mata untuk mendengarkan lagu.
Melainkan lebih dari itu. Maka tak heran bila Ritus Penutup, Dominasi
Zombie, Rusak Bumi, Ratakan Tirani, dan Arogansi, seperti memiliki makna
sama buat seluruh pengunjung. Seluruh lagu adalah kegilaan.
Terlebih lagi ketika dua kata mengelupas dari lidah barus: Kerajaan Ilusi. Saat itulah kegilaan seperti hendak mencapai ajal. Namun, Kerajaan Ilusi ternyata tidak menjadi rajah dominan malam itu. Flower City dan Kuya Ngora justru yang jadi anthem pengikat. Rasanya kita tidak akan pernah menyaksikan di gigs lain sebuah lagu sampai dibawakan tiga kali.
Terlebih lagi ketika dua kata mengelupas dari lidah barus: Kerajaan Ilusi. Saat itulah kegilaan seperti hendak mencapai ajal. Namun, Kerajaan Ilusi ternyata tidak menjadi rajah dominan malam itu. Flower City dan Kuya Ngora justru yang jadi anthem pengikat. Rasanya kita tidak akan pernah menyaksikan di gigs lain sebuah lagu sampai dibawakan tiga kali.
Pengunjung rupanya masih memiliki spirit tempur segunung ketika
Godless Symptoms mengumandangkan Anjing Iblis sebagai rajah pamungkas.
Mereka pun memaksa Barus dan kawan-kawan tetap berada di stage. Tak mau
mengecewakan saudara, Godless Symptoms pun kembali membawakan ulang
Flower City dan Kuya Ngora sekali lagi. Ternyata itu tidak cukup.
Pengunjung masih meminta lebih. Dan Godless Symptoms pun kembali
menghajar Kuya Ngora.
Hari ini 46 tahun lalu, negera kita mengalami revolusi. Tapi malam
itu, Godless Symptoms menggelar revolusi sendiri. Wilujeng milad,
Godless Symptoms!
No comments:
Post a Comment